Pacarku Yang Nikmat Ami, Maafkan Aku

advertisement
Pacarku Yang Nikmat  Ami, Maafkan Aku

Cerita Dewasa "Pacarku Yang Nikmat  Ami", Maafkan Aku, cerita ngentot pacar, nikmatnya tubuh pacarku yang cantik, ngeseks dengan pacar di sekolah, ngentot pantat pacar di kelas, cerita seks pacar 2017.

Suara gemuruh air hujan terdengar dari luar, awan mendung yang sedari pagi bergelantungan di langit akhirnya berjatuhan juga. Masalahnya, kenapa hujan begitu tega padaku? Turun di saat aku baru saja melepas celana dalamku di WC. Derasnya air hujan jelas membuatku tidak tenang, aku bergegas mengenakan kembali celana dalamku begitu urusanku beres. Aku merapikan seragam sekolahku dan membuka pintu WC.

Aku bengong begitu melihat keluar, derasnya air hujan seolah menutupi pandanganku. Bangunan dengan deretan WC khusus siswa/siswi ini memang terpisah dari bangunan kelas-kelas, kendati tidak begitu jauh, hanya berjarak sepuluh atau delapan langkah, namun siapa pun yang mencoba menerobosnya pasti akan basah kuyup. Aku tetap melangkah bagiamana pun juga, berniat berlari menembusnya.

“Andin, jangan!” Teriak sebuah sumber suara.
“A Rangga?” Tanyaku, menengok ke arah laki-laki berbadan tegap yang berseragam itu dengan perasaan senang. Jujur saja, tadi aku sempat khawatir seandainya aku terjebak hujan di sini lalu harus menunggu hujan reda sendirian.

Kak Rangga ini pacarnya Ami, temen sebangku ku. Lucunya, Kak Rangga adalah sahabat dekat Kak Dhani, pacar aku. Keduanya satu tingkat di atas aku dan Ami, mereka kelas XII sementara aku dan Ami kelas XI. Ami dan Kak Rangga memang sudah lebih dulu berpacaran, nyaris sudah satu tahun setengah, sementara aku dan Kak Dhani baru saja pacaran beberapa bulan yang lalu, itu pun tak lain gara-gara Kak Rangga dan Ami yang mengenalkan kami berdua.

“Kok Aa ada di sini?” Tanyaku dengan panggilan lokal untuk kakak laki-laki. Aku bertanya seperti itu mengingat kelas XII sebetulnya memiliki WC yang satu lantai dengan kelasnya di lantai atas sana.

“Habis dari ruang guru, Din, terus kebelet kencing tadi. Kelasku lagi dikasi tugas, sih. Andin pasti lagi belajar Kimia, ya?” Katanya sedikit mengencangkan suaranya, melawan gemuruh air hujan yang cukup ribut.

Kak Rangga ini, selain pintar dan aktif berorganisasi, dia cowok yang dikenal baik namun yang paling penting buat cewek-cewek di sekolah ini adalah wajahnya yang terbilang tampan untuk ukuran rata-rata cowok di sekolah ini, plus dia juaranya bermain futsal. Aku suka? Oh iya dong, aku juga suka, tapi itu dulu, dulu sebelum Kak Rangga jadian sama Ami. Masalahnya, Ami juga bukan cewek sembarangan, Ami termasuk cewek yang paling cantik di sekolah ini, jadi tidak ada orang yang menyesalinya ketika Kak Rangga dan Ami jadian, termasuk aku.

“Iya nih, tapi hujannya gede banget.” Jawabku setengah berteriak juga.

Kak Rangga mendekatiku, mungkin agar aku dan dia tak perlu berteriak-teriak.

“Gak apa-apalah, nanti bilang aja ke Bu Tina kalo Andin telat gara-gara takut kehujanan.” Hiburnya.

Aku dan Kak Rangga memang tidak begitu asing antara satu dan yang lainnya karena cukup sering bertemu dan jalan bareng bersama Ami dan Kak Dhani pacarku.

“Parah banget hujannya, iya nggak sih?” Aku sedikit mengeluh sambil mengibaskan bagian depan rok pendek abu-abuku, menjatuhkan butiran-butiran air yang menempel.

Belum sempat Kak Rangga menanggapi keluhanku, tiba-tiba hujan bertambah deras disertai angin yang cukup kencang. Aku melangkahkan kakiku mundur, menyelamatkan kaos kaki dan sepatuku dari serbuan air hujan.

“Eh, maaf.” Kataku, begitu bagian belakang badanku menabrak tubuh Kak Rangga yang ternyata sudah berdiri di belakangku.
“Hahaha, nggak apa-apa.” Kak Rangga tertawa. “Sebelah sini.” Dia menarik lenganku.

Mengajakku ke WC yang paling ujung. Di akhir deretan WC ini memang ada satu ruang sempit yang cukup melindungi dari tiupan angin yang membawa serta hujan itu. Ruangan yang tak berpintu ini adalah tempat petugas kebersihan menyimpan alat-alatnya. Lumayan jika dibandingkan harus berlindung di WC.

Kak Rangga menarikku mundur sedikit lagi, angin yang disertai air hujan itu ternyata masih bisa menjangkau ujung sepatu ketsku. Aku berdiri membelakangi Kak Rangga, punggungku berdesakkan dengan dadanya.

“Nah, ini lebih baik.” Katanya dari belakangku.

Aku membalasnya dengan anggukan sambil menatap air hujan yang deras di depan mataku. Entah kenapa, aku merasakan hal yang tidak enak, merasa tidak terbiasa berduaan di tempat yang cukup tersembunyi dengan pacarnya teman yang sekaligus temannya pacar ini.

Aku merasakan turun-naik nafas Kak Rangga dari dadanya yang menyentuh punggungku, hawa dari badannya terasa menempel dengan hangat di punggungku. Perasaanku mulai menjadi tidak karuan, belum lagi wangi parfum khas Kak Rangga yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam hidungku. Ada perasaan yang cukup intim yang aku rasakan, tapi entahlah, mungkin saja hanya aku yang merasakannya.

15 menit berlalu sudah tapi hujan masih saja deras. Sementara itu, Aku dan Kak Rangga belum membuka mulut lagi sejak percakapan terakhir tadi. Aku tidak tahu kenapa kami menjadi diam, aku sendiri diam karena merasa canggung. Entah bagaimana ceritanya, punggungku ternyata sudah cukup menempel di bagian depan badan Kak Rangga. Aku bisa merasakan persis kancing-kancing, emblem OSIS, dan label namanya di punggungku, tak luput dengan bidangnya dada Kak Rangga yang cukup empuk aku sandari.

Satu-dua kali aku mendengar ada siswa yang keluar-masuk WC tapi tak satu pun yang mengetahui keberadaan kami berdua di sini. Seharusnya mereka yang datang dan pergi itu membawa payung dan aku bisa saja ikut menumpang tapi entahlah, seolah ada yang menahanku di sini. Ketenangan dan kenyamanan, selain ada perasaan dekat yang cukup aneh antara aku dan Kak Rangga membuatku enggan beranjak.

Kedekatan tanpa sebab itu tiba-tiba terasa lebih mesra, badan Kak Rangga yang terlanjur menempel dengan punggungku itu terasa dibuat sedemikian rupa sehingga lebih maju. Wajahnya saat ini berada persis di samping kiri telingaku, dan untuk pertamakalinya, nafas panas Kak Rangga terasa menyapu telingaku. Rasa panas yang menerpa telinga, menurutku bisa membuat cewek mana pun menjadi lunak, ada sesuatu hal yang tidak aku mengerti pada telinga cewek dalam keadaan seperti ini. Hembusan nafas yang hangat itu tak berhenti tertiup, menyisir daun telingaku yang sekarang terasa sensitif. Perlahan namun pasti, gejolak dalam tubuhku mulai bermunculan. Pikiran-pikiran negatif mulai berdatangan.

“Apa A Rangga sengaja membuatku horny?” Tanyaku dalam hati, merasakan kegundahan gara-gara posisi ini.

Aku hanya bisa memejamkan mata saat setelah itu salah satu bibirnya menempel di daun telingaku, terasa hangat. Entah apakah dia melakukan itu dengan sengaja atau tidak, aku tanpa sadar malah menjadi terbuai.

“Sengaja, atau memang gak sengaja?” Pertanyaan itu mendera benakku.

Aku membiarkannya, toh aku juga sepertinya malah menyukai itu. Setidaknya menjadi hiburan di saat hujan dan angin membuatku mulai kedinginan. Namun, di saat aku sedang menikmati itu, tiba-tiba sebuah kecupan kecil yang sepertinya memang disengaja mendarat di telingaku, menyadarkan aku situasi yang sebetulnya. Kecupan yang cukup menjawab pertanyaanku yang tadi.

Awalnya aku bimbang dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan, namun kecupan kedua seolah kode konfirmasi darinya. Hasrat dalam tubuhku yang mulai terpancing ini tidak mampu memberikan penolakan. Dari mesra kecupannya, rasa hangat bersandar di dadanya, dan wangi parfumnya yang menguap dari tubuhnya menimbulkan gairah secara tiba-tiba dalam diriku. Aku yang mulai merasa lemah diperdayai oleh nafsuku sendiri ini menengok ke arahnya, melihat wajahnya dari sudut mataku yang sepertinya meredup ini.

Rupanya Kak Rangga menyadari keadaanku, seolah bisa membaca pikiranku dari tatapanku itu, dikecupnya sudut bibirku dengan penuh kehati-hatian. Aku membiarkan itu karena ternyata aku menyukainya. Dan ketika dia melakukan itu lagi, tanpa sadar aku memalingkan paksa wajahku ke arahnya, menatapnya seolah memberitahu dia bahwa aku bersedia menerima hal yang lebih dari itu, dan membiarkan bibirku diam begitu saja. Melihat reaksiku yang seperti itu, Kak Rangga dengan tanpa ragu menyambar kedua mulutku dengan bibirnya. Aku membalasnya, menghisap kembali cumbuannya.

Seolah diiringi oleh denting-denting piano yang romantis, bunyi hujan yang riuh berjatuhan itu seakan melambatkan nikmatnya cumbuan demi cumbuan. Dari belakang punggungku, tangan kanannya menelusuri ikat pinggang yang melilit perutku, perlahan menyusuri seragamku ke depan hingga berakhir di bagian depan tubuhku yang menonjol terperdayai nafsu. Dadaku, bagian yang selalu ingin dijamah saat aku sedang fly seperti ini, membusung secara otomatis saat tangannya tiba di dua gundukan jelly yang sudah horny milikku itu. Aku membiarkannya, mempersilahkan jemari tangannya untuk melakukan apa pun yang dia mau.

Diremasnya kedua buah dadaku itu perlahan. Begitu jemarinya menekan seisi payudaraku, pikiranku bertolak terbang entah kemana. Tanpa sadar, badanku melengkung tak terkontrol, tangan kiriku menjambak rambutnya, menarik kepalanya, menuntut ciuman yang lebih dalam. Buat dia, semuanya seperti sudah jelas: Aku memang menginginkannya. Dirapatkannya tubuhnya, direngkuhkannya kedua pundaknya menghimpit punggungku, satu per satu kancing bagian atasku dilepasnya hingga cukup ruang baginya untuk merogoh payudaraku.

Angin dingin yang berhembus ke dalam sebagian permukaan dadaku yang terbuka serasa membangkitkan rambut-rambut halus yang tumbuh di sana. Aku mendesah seirama dengan deru air hujan manakala tangannya menyusup masuk ke dalam kemeja putihku, menyelinap ke dalam kaos dalam dan braku. Dia genggam penuh buah dadaku itu dengan kelembutan. Ciuman demi ciuman mengiringi rabaannya. Sesekali, aku membalasnya dengan meremas-remas benda tegak di dalam celananya.

Hasrat menggali kenikmatan sudah begitu menguasai pikiranku. Sejenak terpikirkan olehku kalau bibir yang aku cumbu ini adalah bibir yang biasa dicumbui oleh bibir sahabatku sendiri, teman sebangkuku! Namun apa daya, pikiran itu sirna seiring jemarinya yang menari-nari nakal di atas permukaan kulit buah dadaku itu mendekati bagian yang menegang. Disentuhnya perlahan, dipijit, dan dipilinnya puting susuku yang sudah sedemikian tegak itu. Aku melenguh kencang, otot-otot di tubuhku serasa lemas, terhisap oleh kenikmatan yang luar biasa.

Aku melepaskan ciumannya, menikmati setiap sentuhan, remasan, dan cubitannya di payudaraku. Seolah tak mau berhenti beraktivitas dengan mulutnya, hisapan dan sapuan lidahnya menyerang bagian belakang dan samping leherku yang tertutupi rambut. Rasa panas yang mendarat di leherku begitu kontras dengan udara di sekelilingku. Rasanya seperti menikmati sup ayam yang panas di kala kedinginan – nikmat tanpa ampun.

Tangan kanannya kemudian bergerak turun dari payudaraku, menyisir perutku, lalu lebih bawah lagi. Aku tahu ke mana arah tangan itu menuju, ke sebuah tempat milikku yang sedari tadi begitu merindukan sentuhan, sebuah tempat di mana semua kenikmatan-kenikmatan ini berujung. Tangan kirinya yang masih menggenggam payudaraku di dalam pakaianku itu terus-menerus membelai, meraba, dan meremas-remas. Gejolak birahi ini sepertinya tak bisa terbendung lagi. Rasanya, bagian bawah celana dalamku mulai berair, rasa lincir di bagian bawah itu cukup terasa olehku.

Aku hanya diam saat tangannya perlahan menyusuri bagian bawah perutku yang melereng ke bawah, sekali pun masih terlindungi oleh rok dan celana dalamku namun aku merasakan rambut-rambut jarang di bawah sana ikut tersentuh, dari lereng itu dia berlalu menuju tebing kemaluanku yang lunak dan menggembung, lalu dia menggenggamnya erat. Di bawah sana, rasanya seperti terselimuti kenikmatan yang mesra. Lalu digoyangkannya genggamannya itu, turut menggoyangkan lapisan pakaian yang menutupi kemaluanku. Basahnya daerah itu, membuat genggamannya di tengah selangakanganku itu menjadi sebuah kenikmatan yang tak terlukiskan.

Kriiiiingg! Kriiiing!!

Tiba-tiba saja bunyi bel dua kali yang cukup nyaring itu terdengar menembus tebalnya hujan, bel pertanda jam pelajaran telah berganti. Di titik yang tengah aku alami ini, tak akan ada seorang perempuan pun yang bisa melawan kenikmatan yang luar biasa seperti ini, namun bunyi bel itu menyadarkanku akan sekeliling. Dinding-dinding ruangan petugas kebersihan ini menjadi cukup jelas. Lalu aku teringat dengan siapa aku bercumbu mesra. Kak Rangga adalah sahabat pacarku, dia adalah kekasih dari sahabatku! Bahkan, air liur yang tertukar dari mulut Kak Rangga sejatinya adalah air liur yang sejak sekian lama bercampur dengan air liur teman sebangku aku! “Terkutuklah aku!” Gerutuku dengan penyesalan.

Kak Rangga meredakan pelukannya demi melihat nafsuku yang tiba-tiba menurun. Sepertinya dia menyadari rasa berdosa yang tiba-tiba menyerangku. Aku memajukan badanku, membetulkan rok pendekku itu dan mengancingkan kembali tiga kancing atas kemeja sekolahku yang sudah terlepas.

“Maafkan aku, Ndin.” Katanya sambil berbisik. Aku diam seribu bahasa dan hanya berani menundukkan kepala. Aku beranjak dari pelukannya dengan rasa berdosa dan berjalan menjauhinya. Namun sebelum langkahku cukup jauh, di antara hujan yang mulai melambat, terdengar dia berkata sesuatu,

“Tapi, aku gak nyesel.”

Aku menghentikan langkahku, dan berbalik ke arahnya.

“Kenapa?” Tanyaku.
“Karena aku gak ngelakuin cuma karena nafsu doang.” Jawabnya. “Aku dulu pernah suka sama kamu, Ndin. Setidaknya sekarang aku pernah nyium kamu.” Lanjutnya sambil tersenyum.

Aku tidak berani merespon apa-apa. Aku takut salah.

Baru saja aku mengangkat kakiku untuk melangkah, tiba-tiba tangannya yang kekar itu menarikku kebelakang.

“A?” Tanyaku kenapa. Aku menghadapkan badanku di depannya, seolah melihat raut wajah yang membutuhkan pelampiasan. Jujur saja, aku pun merasakan hal yang sama, kebutuhan untuk melepaskan kenikmatan yang tadi sesaat menderaku.

Sekonyong-konyong dia malah menarikku. Membawaku melewati pintu WC. Setibanya di dalam, ditariknya kepalaku ke arahnya dan secepat kilat mulutku dihisap habis olehnya. Dan entah kenapa, seolah terlepas dari belenggu, aku tidak kalah buas darinya. Aku balas menghisap mulut rakusnya itu. Tanpa sadar, tanganku memegang dengan gemas kemaluannya tanpa rasa malu, begitu pun dia, dengan liar kembali meremas-remas payudaraku.

Dengan susah payah, tanpa melepas ciuman, Kak Rangga mengunci pintu WC. Aku, Andin Pratiwi Putri, perempuan yang dikenal baik, sopan, dan sangat menghargai persahabatan ini tiba-tiba menjadi buas dan nakal. Lihat saja, tanpa basa-basi, aku berusaha melepas ikat pinggang Kak Rangga. Tak mau kalah, Kak Rangga melepas kancing kemeja sekolahku satu demi satu. Kami berdua seolah tahu sejauh apa semua ini akan dilampiaskan. Aku mengurut kemaluannya yang sudah membengkak itu begitu ikat pinggang dan resluiting celana panjang sekolahnya berhasil aku buka. Aku tersenyum melihat sebagian kemaluannya berontak melewati batas celana dalamnya, sebagian dari kepala penis mengintipku dari sana.

Rupanya adik kecil Kak Rangga ini sudah sedemikian terangsang sampai-sampai celana dalamnya sudah tidak bisa menampung ukuran panjang penisnya. Namun masih dengan pertempuran yang sama, Kak Rangga tak kalah berusaha. Disibaknya ujung kemeja putihku yang menghalangi bagian depan tubuhku itu, sebelum akhirnya dia menarik paksa kaos dalam dan braku ke atas. Kedua payudara yang selama ini hanya sempat dijamah oleh sahabatnya itu tergantung bebas di hadapan matanya. Kedua putingnya terlepas ke udara terbuka, menunjuk, menantang Kak Rangga. Seolah terpesona, dia melihat dengan seksama kedua bongkahan benda kenyal yang cantik itu, lalu meraba-rabanya dengan penuh perhatian. Aku refleks terdiam merasakan kenikmatan ini.

Aku makin tak kuasa merasakan semua itu ketika mulutnya terasa panas dan basah melahap dan menghisap kedua benda kesayanganku, apalagi ketika dalam hisapannya itu, lidahnya menekan-nekan liar buah dadaku. Nafas yang terasa sesak ini menyisakan desahan yang tiada henti. Udara sekitar yang tadinya terasa dingin sekarang tak lagi begitu terasa terasa, suara hujan pun tak lagi terdengar tergantikan oleh suara hisapan mulut Kak Rangga dan desahan nafasku. Aku memeluk kepalanya, menekannya, memohon padanya agar tidak berhenti menggauli kedua payudaraku.

Detik demi detik dilalui dengan kenikmatan yang tiada tara sampai lupa di mana aku berada. WC ini berlabel ‘Putri’, WC yang memang lebih bersih dan lebih terawat dibanding WC Putra. Ruangannya sedikit lebih luas dari WC Putra, dilengkapi satu bak mandi dan toilet jongkok di sampingnya, sementara ventilasi hanya merupakan sebuah jendela kecil yang bisa dibuka dan ditutup di atas sana. Aku merasa di tempat ini cukup aman, tidak ada kekhawatiran sedikit pun dariku.

Fokusku menjadi kabur ketika Kak Rangga tidak hanya menghisap buah dadaku, namun tangannya yang nakal itu mulai meraba-raba pahaku. Jemarinya menelusuri pahaku yang masih terbalut rok abu-abu sekolahku. Jemari nakal itu merayap perlahan melintasi ujung kain rokku, lalu menyelinap masuk ke dalamnya. Rabaannya serasa aliran listrik yang mengalir dari rambut-rambut kecil di pahaku. Kedua tangannya menyebar hingga ke belakang pahaku, lalu naik hingga dia berhasil menggenggam kedua bongkah pantatku yang masih terbungkus celana dalamku.

Dia melepaskan hisapan mulutnya dari dadaku, menegakkan badannya dan kemudian melumat bibirku, namun tanpa ampun, di bawah sana tangannya meremas dan menarik-narik kedua pantatku. Rasa nikmat itu tidak hanya dari remasan dan pijitannya di pantatku, namun tarikannya membuat kedua bibir kemaluanku di bawah sana ikut tertarik kesana-kemari. Bibir kemaluan yang awalnya rapat dan basah itu sesekali terbuka menganga, membuat gesekan-gesekan kecil di sana satu sama lain.

Jemarinya terus berpetualang hingga berakhir di atas karet pinggang celana dalamku, lalu serta-merta dia menariknya turun hingga ke ujung pahaku tanpa sempat aku cegah sama sekali. Dia menatap mataku, seolah bertanya apakah aku mengizinkan dia untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Aku menjawabnya dengan sebuah senyuman, mengangkat sebelah kakiku dan mengambil celana dalamku yang terlanjur lepas dari selangkanganku.

Aku berhenti sejenak, mengamankan celana dalamku dengan menggantungkannya di gantungan baju di pintu WC. Wangi lembab dan lengket dari celana dalamku membuatku agak malu, sekali pun aku pikir cukup wangi bercampur dengan body-lotionku. Kak Rangga kembali mencumbuku dan tangannya kembali bergerilya. Dia menyibak rok sekolahku itu dan mengusap-ngusap paha bagian dalamku. Ujung-ujung syaraf di bagian dalam pahaku itu memang teramat sensitif, apalagi setelah alat vitalku di bawah sana bersentuhan dengan udara terbuka, membuat daerah sekitarnya kian resposif terhadap sentuhan. Satu per-satu syaraf-syaraf penerima rangsangan itu mengalirkan kejut-kejut listrik yang melintasi organ intimku.

Ruangan ini terasa lembab dengan hawa panas birahi yang menguap dari masing-masing tubuh kami. Sekali pun di luar masih hujan, namun badanku terasa berkeringat sekali. Aku memeluknya erat ketika salah satu jemarinya menyentuh selangkanganku, perbatasan yang polos antara paha dan organ intimku. Aku menggigit bibirku, menahan kenikmatan tatkala jemarinya mengelus kedua bibir kenikmatanku yang dipenuhi lemak itu.

Ditekan dan digoyangkannya kesana-kemari, membuat cairan kenikmatan yang merembes dari dalam liang senggamaku itu luber kemana-mana. Aku berkali-kali harus menahan pantatku dari refleks rasa nikmat yang menyerangku tapi aku justru melebarkan kedua pahaku. Kemudian tangannya mengusap-ngusap rambut-rambut pubisku yang masih jarang, lalu turun melintasi batas rambut-rambut kecil itu, menuruni sebuah lembah seukuran kelingkingku dan,

“Aaaaaaaaaaaah!!” Aku berteriak kencang dan menjambak rambutnya ketika jari tengahnya menyentuh sebuah permukaan yang menonjol dari lembah kemaluanku itu, klitorisku, benda tegang yang berukuran tidak lebih besar dari puting susuku namun dengan ribuan ujung syaraf kenikmatan yang sedari tadi menanti-nanti sentuhan. Ditekannya biji yang terlapisi kulit yang tipis itu, digerakkannya kesana-kemari, membuat ledakan-ledakan nikmat yang memancar ke seluruh tubuhku.

Aku benar-benar terlena, tak kuasa menahan kenikmatan yang aku rasakan, sampai-sampai aku menjatuhkan badanku memeluk Kak Rangga. Kepalaku, tanganku, kakiku, semuanya mengejang tak terkendali.

Kenikmatan yang bertubi-tubi di antara selangkanganku itu kian lama kian memuncak. Sentuhan dan pijatannya pada biji klitorisku itu begitu lembut dan konstan, seperti jemari yang sudah sangat terlatih untuk memuaskan nafsu seorang perempuan. Lalu pada suatu titik, otot-otot di paha dan pantatku serasa tegang, seolah memberikan jalur tanpa hambatan pada kenikmatan yang kian meninggi. Aku peluk erat Kak Rangga dengan sekuat tenaga, dan hanya dalam hitungan detik, sebuah tekanan dan gesekan yang tepat dari KakRangga melemparkanku ke angkasa seiring dengan berhamburnya jutaan kenikmatan itu dari klitorisku ke setiap penjuru tubuhku.

“Aaaaaaaaaaaahh!!” Aku tak bisa menahan erangan kenikmatanku.

Aku memeluk Kak Rangga dengan nafas yang terengah-engah. Dia membiarkan tangannya diam di selangkanganku karena tidak sengaja terkunci olehku saat orgasme tadi tiba. Aku mengecup mesra bibirnya sebagai ucapan terimakasih.

Tanpa sadar, aku sudah mengelus kepala kemaluannya yang menyembul dari balik celana dalamnya. Tanganku mencoba menelusuri leher batang kelaminnya yang masih terlindungi celana dalam, sekali pun celana dalam cowok memang lebih tebal dari celana dalam cewek, tapi bagian-bagian dari penisnya cukup terasa olehku ujung-ujung jariku. Urat-urat yang menegang di bagian tengah batang kemaluannya terasa berdenyut-denyut seksi. Sebelah tanganku menarik bagian atas celana dalamnya ke arahku, lalu tanganku yang lainnya merogoh burung yang tegang itu agar keluar dari sangkarnya.

Melihat posisiku yang tidak terlihat enak, Kak Rangga mundur dan menyandarkan pantatnya di ujung bak kamar mandi. Aku menarik celana panjang abu-abunya turun. Paha polos yang berotot itu terlihat sangat gagah di mataku, dia lalu berusaha membantuku dengan menurunkan celana dalamnya.

Penis yang sepertinya sudah tidak bisa menahan nafsu birahi yang sedari tadi bergejolak itu berdiri tegak begitu saja, berdiri di atas dua kantung biji kemaluan yang menggelantung, berlatar rambut-rambut pendek kemaluan yang keriting namun rimbun. Sangat gagah dan seksi, sebuah pemandangan yang tidak pernah aku lihat dari seorang kekasih sahabatku. Kugenggam benda yang kekar itu, panasnya begitu terasa oleh telapak tanganku. Tak berani kubayangkan seandainya rasa panas ini menempel pada dinding-dinding lubang vaginaku dan mengaduk-ngaduk permukaan-permukaan licin dan sensitif di dalam sana. Ah, aku malah jadi horny kembali membayangkannya.

Aku membungkukkan badanku, mendekatkan wajahku ke arah kepala penis yang terlihat mengkilat itu. Kugenggam benda itu seolah mikrofon yang hendak aku nyalakan. Wangi kecut kayu-kayuan yang segar dan khas dari alat vital laki-laki ini terhirup oleh hidungku, membuatku tak bisa menahannya lebih lama. Aku membuka mulutku lebar-lebar dan menjulurkan lidahku hingga menggapai bagian bawah leher penisnya.

Kuapit mesra dengan kedua bibirku, kupijat dengan lidahku dan kuhisap perlahan seperti layaknya aku menikmati sepotong eskrim bar, hanya saja eskrim yang satu ini terasa panas dan juga hambar dan sedikit asin di lidah. Kutarik dan kumasukkan kembali ke mulutku, kupijat dan kuhisap kembali, berulang-ulang hingga benda panas itu betul-betul mengeras, membesar, dan memerah, bak besi panas yang hendak ditempa. Kak Rangga memejamkan matanya, hanya tangannya yang coba menghalangi rambutku yang terjatuh ke depan. Setelah berapa lama, dia memegang daguku, lalu mendekati telingaku dan berbisik.

“Boleh dimasukin gak, Din?” Tanyanya dengan malu-malu.

Terus terang, aku sudah cukup malu dengan melakukan semua ini. Bagaimana tidak, cewek yang tengah mengulum kemaluannya ini adalah kekasih dari sahabat dekatnya sendiri. Bibir yang sama yang beberapa hari lalu menghisap kemaluan sahabatnya! Aku sendiri, rasanya tak sanggup membayangkan batang kemaluan yang mungkin biasanya memasuki lubang senggama teman sebangkuku juga memasuki lubang kemaluanku, rasanya aku sudah keterlaluan.

“Sekali ini aja, Din. Aku gak bakal cerita apa-apa ke Ami atau ke Dhani, aku janji.” Katanya, mencoba membujukku.

Kemaluan yang kokoh dan panas yang berada di dalam genggamanku ini memang tampak seperti haus akan dekapan erat mulut vaginaku, seperti halnya lubang senggama yang licin yang rapat milikku di sana, yang saat ini betul-betul merindukan gesekan dari sebuah batang kemaluan laki-laki.

Aku membiarkannya saat dia menarik ujung rokku dan mendudukkan pantatku di atas bak air. Seperti terbelah, kedua bibir kemaluanku menganga saat lengannya mengangkat salah satu pahaku ke atas. Dia mendekatkan kemaluannya ke selangkanganku, lalu perlahan, disentuhkannya kepala penis yang kenyal itu diantara kedua bibir kemaluanku yang nampaknya sangat basah dan merekah itu. Dia mengarahkan kepala tumpul bak sosis panas itu pada ujung bawah bibir kemaluanku lalu menekannya perlahan-perlahan persis pada lubang yang berlendir itu, sepertinya dia tahu kalau lubang vaginaku masih cukup sempit. Sejauh ini, aku hanya melakukan hubungan suami-istri dengan Kak Dhani, dan itu pun baru hanya beberapa kali saja.

“Ahhh!” Aku menahan nikmat saat kepala penisnya merangsek, menguak paksa dua bibir kemaluanku yang paling dalam.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaah!” Aku mengerang panjang saat penis keras nan panas itu melesak masuk, menyeruduk ke dalam liang vaginaku, mengurut dinding-dinding licin milikku yang begitu sensitif.
“Uhhh!!” Aku tak henti-hentinya mengeluarkan suara, lenguhan itu tak terkendali saat penis yang terhisap dalam vaginaku mulai bergerak perlahan maju dan mundur.

Rasa penuh pada liang kemaluanku itu benar-benar membawaku terbang.

“A Rang.. ga” Kataku lemah memanggilnya diantara sejuta kenikmatan yang menghampiriku.

Aku menarik kepalanya, melabuhkan sebuah ciuman yang diiringi oleh gesekan dalam lubang kemaluanku. Sesekali penisnya yang ikut licin oleh cairan pelumasku itu lepas dari genggaman kemaluanku, cairan yang licin dan lengket itu menetes hingga ke pantatku. Kak Rangga tak henti-hentinya memacu pantatnya maju dan mundur, aku pun tak kalah sibuk, mencumbunya dengan buas.

“Ami, maafkan aku.” Jeritku dalam hati. “Ini terlalu nikmat untuk aku tolak.” Betapa tidak, berhubungan kelamin dengan sosok yang aku kagumi ini tak hanya sekedar cerita drama romantis, namun juga rasa berhubungan seks yang ternyata sangat nikmat.

Aku menatap cowok ganteng yang tengah menggauliku ini. Dia berkali-kali memejamkan matanya, terlihat begitu menikmati lubang hangat yang licin namun sempit milikku. Tidak jauh berbeda ketika Kak Dhani menindihku, otot-otot tangannya meregang menahan tusukkan ke dalam vaginaku, urat-urat di lehernya nampak jelas seolah sedang memberikan energi yang lebih pada perut, pantat, dan pahanya. Sayang sekali, aku tak bisa melihat penisnya keluar-masuk liang vaginaku, rok sekolahku yang tersibak menghalangi penglihatanku, hanya pangkal penisnya yang terlihat basah terlihat sesekali.

Tusukan-tusukan penisnya itu tak hanya menggesek dinding-dinding di lubang kemaluanku, daerah sensistif di dalam kemaluanku pun ikut bangkit. Kenikmatan menuju puncak pun sedikit demi sedikit mulai berdatangan, aku bahkan harus menopang badanku dengan tanganku.

“Ah, ah, ahhh..” Suaraku dan suaranya mulai seirama, kenikmatan yang dia rasakan nampaknya sama yang dirasakan olehku.

Aku ikut menggoyangkan pantatku ke depan dan ke belakang. Lama-kelamaan gerakan Kak Rangga kian cepat. Dinding-dinding kemaluanku pun tak kalah berjuang mendaki puncak kenikmatan.

“Uuuuuuuuuaaaah!!” Aku menggigit bibirku tatkala kenikmatan-kenikmatan itu memuncak dalam sebuah lontaran kenikmatan yang dahsyat.

Mengejangkan semua otot di tubuhku, membius kepalaku dengan letupan-letupan nikmat yang terus-menerus, sementara gesekan cepat kemaluan Kak Rangga yang tak sebentar pun berhenti menambah panjang orgasmeku kali ini. Aku mememeluknya erat, membuat penisnya tenggelam dalam lubang vaginaku sedalam mungkin hingga orgasmeku selesai.

Aku menggoyangkan kembali pantatku, sekali pun kemaluanku kemudian terasa ngilu, namun aku enggan membuat Kak Rangga yang tengah memacu kenikmatannya itu berhenti di tengah jalan.

“Emmmgh..” Lenguhnya. “Sempit banget, sumpah.” Katanya sambil memejamkan mata, masih terlihat begitu sangat menikmati lubang kemaluanku.
“Andin..” Panggilnya, terasa olehku dia menambah kayuhannya lebih cepat.

Aku mencoba membantunya dengan goyangan pantatku sekali pun ruang dudukku terbatas oleh bibir bak WC yang tidak cukup luas.

“Andin sayang..” Dia seperti mengigau. Aku pikir dia mengigau karena dia mulai mendekati masa ejakulasinya.
“Iya, sayang..” Aku membalasnya sambil menyeka keringat yang bercucuran dari keningnya.
“Udah mau keluar?” Bisikku bertanya.
“He-em” Dia menjawabnya dengan nafas tertahan di antara goyangan pantatnya yang sepertinya bergerak lebih cepat lagi.
“Andin.. Emh, emh..” Panggilnya lagi, namun disertai desahan nafas yang buas. Kayuhannya itu tiba-tiba menjadi super cepat, dan,
“Andin, aaaaaaaaaaaaahh!!” Serta-merta dia mencabut penisnya dari dalam vaginaku.

Nampak tak sadar dengan kenikmatan yang membawanya terbang entah kemana itu, batang penis yang terlihat basah kuyup oleh lendir-lendir dari dinding vaginaku itu tiba-tiba melontarkan cairan kemana-mana. Cairan berwarna putih yang cukup banyak itu berloncatan dan terlempar tanpa ampun cukup kencang dan jauh. Dahi Kak Rangga berkerut, matanya meringis menahan nikmat. Aku diam saja, menunggu dia menyelesaikan fase orgasmenya yang cukup panjang.

Aku mencoba membuatnya rileks, aku bangkit dan membungkukkan badanku ke arah kemaluannya. Wangi lembab cairan cinta dari vaginaku dan wangi yang menenangkan dari cairan cinta Kak Rangga bercampur menjadi satu. Aku memegang dan menghisap batang kemaluan yang berlumur cairan yang serba lengket itu. Manis-asam-asin terasa bercampur di lidahku, tapi sekali pun begitu, tak urung aku nikmati, bahkan ketika sisa-sisa cairan ejakulasi yang ternyata masih tersisa dalam saluran kemaluannya itu sesekali meleleh aku telan begitu saja.

“Haha, parah banget sih, Kak.” Kataku sambil menyeka mulutku, mengomentari banyak dan kencangnya cairan ejakulasi dia. Dia tersenyum ke arahku, membuka kemejanya dan melepas kaos dalamnya, lalu dia membersihkan cairan ejakulasinya yang melumuri pahaku dan beberapa daerah di pakaianku itu dengan kaosnya.

“Emang enak banget, Din.” Ujarnya, lalu memberikan aku sebuah ciuman di kening.
“Ups.” Dia menyeka cairan ejakulasi yang tak aku sadari tadi terlempar ke mukaku. “Maaf, ya?” Pintanya.
“Sering separah ini?” Tanyaku, membiarkan dia membersihkannya. Dia menggeleng.
“Gak tau kenapa, ini yang paling banyak dan paling enak.” Jawabnya.
“Ckckck. Parah, parah. Haha.” Aku tertawa.

“Hujannya parah!” Kataku sesampainya di tempat dudukku, di samping Ami sahabatku, tentu dengan seribu rasa bersalah yang membebaniku.
“Lama banget, Din. Kejebak hujan di mana?” Tanya Ami sedikit memelankan suaranya, tak mau Bu Tina yang sedang berada di depan papan tulis memarahinya.
“Di WC, Mi.” Jawabku. Ami kali ini terlihat polos di mataku. Bagaimana tidak, selama satu jam lebih batang kemaluan pacarnya itu mengaduk-ngaduk liang senggamaku dan dia tidak mengetahuinya samasekali.

Dia juga tidak tahu seandainya di beberapa tempat di kemeja dan rokku terdapat cairan kenikmatan milik pacarnya, belum termasuk sperma yang sengaja aku telan.

“Ah, Ami, maafkan aku.” Kataku spontan. Ah, sial! Kenapa itu keluar dari mulutku??
“Maaf buat ..?” Ami balik bertanya. Aku jadi bingung dan tak tahu harus menjawab apa.
“Ini apa?” Tiba-tiba Ami bertanya.

Dia menyimpan iPhone yang sedari tadi digenggamnya itu, menjulurkan tangannya mengambil sesuatu yang lengket dari rambutku.

“Sial!” Kataku dalam hati ketika melihat sesuatu yang Ami ambil dari rambutku. Percikan sperma Kak Rangga!

Dahi Ami berkerut dan seperti terkejut melihat lendir yang lengket di tangannya, pasti dia tau kalau itu sperma cowok. Aku tak bisa berkata apa-apa, aku cuma bisa diam dan bengong. Tapi setelah dipikir-pikir, toh seandainya Ami tahu itu sperma, dia tidak akan tahu kalau itu sperma pacarnya sendiri. Tapi kemudian aku terkejut setelah aku mengintip smartphonenya dan membaca rentetan tulisan chatting yang diketik dari Kak Rangga untuknya,

“Iya, sayang. Tadi aku kehujanan pas ke WC.”
“Maaf gak sempet bales chatnya.”
“Aku sama Andin kok selama hujan tadi,”
“Tanya aja dia kalo gak percaya.”
“Waduh?” Kataku dalam hati.

Cerita Dewasa Pacarku Yang Nikmat  Ami, Maafkan Aku, cerita ngentot pacar, nikmatnya tubuh pacarku yang cantik, ngeseks dengan pacar di sekolah, ngentot pantat pacar di kelas, cerita seks pacar 2017.
advertisement
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »